Dunia
saat ini mengalami berbagai macam masalah setiap harinya. Hal ini merupakan
bagian yang normal dari kehidupan. Terdapat beberapa masalah lingkungan yang
kita hadapi saat ini dan mempengaruhi kondisi global di bumi, seperti perubahan
iklim dan bencana alam.
Salah
satu masalah besar yang dihadapi dunia saat ini adalah polusi. Polusi dapat
terjadi baik di udara, air maupun tanah. Perlu waktu ratusan tahun untuk
memperbaikinya. Salah satu penyebab utama polusi adalah industri dan dan gas
buang kendaraan bermotor. Selain itu, nitrat, metal kuat, dan plastik merupakan
beberapa toksin yang dapat mengakibatkan polusi. Sedangkan polusi pada air
disebabkan oleh tumpahan minyak, limbah perkotaan, dan hujan asam. Selanjuntya,
polusi pada tanah terjadi ketika limbah industri dibuang pada tanah dan
menghilangkan nutrisi pada tanah.
Selain
dari ketiga polusi yang terjadi pada ketiga elemen di atas, masalah besar yang
dihadapi lingkungan dunia saat ini adalah pemanasan global. Pemanasan global
terjadi dikarenakan adanya emisi yang dihasilkan dari efek rumah kaca.
Pemanasan global meningkatkan temperatur atmosfer pada lautan dan permukaan
bumi. Selain itu, pemanasan global juga mengakibatkan mencairnya es pada kutub
bumi.
Overpopulation atau populasi yang
berlebihan menjadi permasalahan lingkungan yang kita hadapi saat ini.
Peningkatan populasi mendorong peningkatan kebutuhan makanan dan air. Selain
itu, populasi berlebihan juga memaksa manusia untuk mengeksplorasi alam lebih
banyak dan cepat dibanding sebelumnya, sehingga sumber daya alam yang tidak
terbarukan akan lebih cepat habis.
Turunan
masalah dari populasi yang berlebihan adalah timbul permasalahan dalam pembuangan
limbah dunia. Banyak negara-negara maju yang dikenal menghasilkan plastik dan
produk berbahaya lainnya bagi masyarakat, akan tetapi penanganan pembuangan
limbah tidak semuanya terorganisir dengan baik, bahkan membunag semua sampah
tersebut di laut dan merusak ekosistem laut. Selain sampah industri, limbah
nuklir juga menjadi perhatian dunia. Penanganan limbah nuklir perlu menjadi
perhatian dan ditangani secara serius. Hal ini dikarenakan, limbah nuklir
merupakan limbah yang berbahaya bagi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan
secara langsung. Makhluk hidup yang terkontaminasi limbah nuklir secara
langsung dapat menderita kanker yang dapat merusak sel-sel di dalam tubuh, dan
membahayakan jiwanya dalam waktu tertentu. Sehingga perlu penanganan dan ruang
terisolasi khusus untuk penangan jenis limbah ini.
Akibat
dari semua permasalahan di atas, dan yang paling menjadi pusat perhatian dunia
karena sangat mempengaruhi kehidupan manusia adalah peningkatan emisi CO2.
Peningkatan emisi CO2 mengakibatkan perubahan iklim global,
peningkatan temperatur atmosfer bumi, kenaikan permukaan air laut, dan iklim
ekstrim pada daerah-daerah tertentu.
Upaya
internasional dalam menyikapi hal tersebut telah dimulai sejak tahun 1988
dengan dibentuknya IPCC. IPCC dibentuk dengan tujuan mendapatkan tinjauan
komprehensif dan rekomendasi yang berkaitan tentang pengetahuan perubahan
iklim, dampak sosial dan ekonomi, dan respon strategis yang mungkin dilakukan.
Singkatnya, IPCC menaksirkan posisi dan peran manusia dalam ilmu pengetahuan
dan sains terhadap perubahan iklim.
Kelanjutan dari IPCC adalah
diadkannya pertemuan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro,
Brazil. Hasil konvensi di
Rio salah satunya adalah membentuk United
Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan anggota sebanyak 197 negara yang
telah meratifikasi Konvensi, dan
disebut
sebagai Pihak Konvensi.
UNFCCC menjadi salah satu hasil konferensi yang fenomenal, dimana perannya terhadap permasalahan lingkungan
masih terlihat dan mencapai banyak kesepakatan dunia untuk mengatasinya. Salah
satu yang dihasilkan dari UNFCCC adalah diadakannya Convention Of Parties (COP) setiap tahunnya untuk mengevaluasi dan
mendapatkan rekomendasi terkait kondisi dan permasalahan lingkungan global saat
ini.
Protokol Kyoto menjadi salah
satu contoh kesepakatan yang dihasilkan UNFCCC pada tahu 2005. Dalam Protokol
Kyoto disetujui secara sah, dimana negara-negara industri akan mengurangi emisi
gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibadningkan tahun 1992. Beberapa
kesepakatan lainnya yang dihasilkan dalam Protokol Kyoto adalah Joint Implementation (JI), Clean Development
Mechanism (CDM), dan International
Emission Trading (IET). Ketiganya merupakan kesepakatan yang bertujuan
untuk mengurangi emisi global.
Protokol Kyoto menjadi salah
satu kesepakatan yang gagal dilaksanakan oleh dunia internasional. Temuan IPCC
menunjukkan telah terjadi kenaikan GRK sebesar 379 ppm pada tahun 2005. Kondisi
tersebut mengakibatkan temperatur bumi meningkat sebesar 0.54 derajat celcius
pada 2007. Laporan itu juga menyebutkan bahwa pada 2005, tutupan es di laut
Artik telah menurun rata-rata sebesar 2.7% setiap tahunnya sementara permukaan
air laut juga telah naik sekitar 0,5 mm setiap tahunnya. Laporan IPCC tersebut
memberikan indikasi yang nyata bahwa Protokol Kyoto telah gagal dilaksanakan.
Kelanjutan dari Protokol Kyoto
adalah dihasilkannya Kesepakatan Paris (Paris
Agreement) pada tahun 2015. Dalam Kesepakatan Paris disepakati bahwa
negara-negara di seluruh dunia diharapakan memasukkan angka yang pasti terkait
kontribusi penurunan karbon dioksida dengan Intended
Nationally Determined Contribution (INDC).
Paris Agreement
yang merupakan hasil COP 21 di Paris, telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi
Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016. Dalam ratifikasi tersebut, Indonesia
berkomitmen menurunkan emisi 29% hingga tahun 2030 dengan upaya sendiri dan
dengan bantuan internasional sebesar 41%.
Angka penurunan emisi karbon
dibuat oleh masing-masing negara. Mereka harus memiliki hitungan bagaimana
mencapai dan melalui rencana aksi apa saja yang akan dilakukan. Bagian pertama
dari INDC setiap negara adalah target mitigasi. Mitigasi adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi karbon. Setiap negara dapat melakukan mitigasi
dengan mengelola sektor transportasi, energi, pertanian, kehutanan dan
perumahan, sehingga mereka bisa mengurangi emisi karbon dioksida.
Bagian kedua dari INDC setiap
negara adalah adaptasi, yaitu bagaimana menyiapkan penduduk dunia untuk
menghadapi dampak perubahan iklim. Dampaknya berupa kenaikan permukaan laut,
lebih banyak kejadian akibat cuaca ekstrim, kekeringan yang ekstrim dan berkepanjangan,
serta suhu bumi yang terus memanas. Semua fenomena itu membahayakan sektor
pertanian, mengancam ketahanan pangan, ketahanan air, kesehatan dan banyak
lagi. Melalui INDC setiap negara berjanji membuat program untuk memastikan
semua sektor yang rentan terkena dampak perubahan iklim lebih siap dan tahan.
Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menjelaskan bahwa INDC Indonesia berorientasi pada
pembangunan masa depan rendah karbon. Fokusnya, sektor pangan, energi, dan
sumber daya air, serta memerhatikan karakter Indonesia sebagai negara
kepulauan. INDC Indonesia memiliki kekhasan dengan menjadikan masyarakat adat
sebagai faktor penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Pada COP22 di Maroko tahun
2016, Indonesia memaparkan salah satu proyek energi terbarukan di Sumba yang
disebut sebagai proyek Sumba Iconic
Island (SII). Penerapan energi terbarukan untuk Sumba dibawah proyek Sumba
Iconic Island (SII) digawangi Kementrian ESDM bekerja sama dengan Lembaga
Hivos.
Proyek SII ini merupakan ambisi
pemerintah daerah dan nasional, komunitas masyarakat sipil, pihak swasta dan
para pemangku kepentingan lainnya di Indonesia untuk mencapai target 100%
energi terbarukan di Sumba pada tahun 2025. Proyek ini dinilai bisa menjadi
contoh yang dapat ditiru oleh negara-negara lain dalam menerapkan 100% energi
terbarukan.
Dipilihnya Sumba sebagai lokasi
proyek percontohan ini pertama dikarenakan rasio elektrifikasinya yang sangat
rendah (hanya 24% saat proyek SII belum dijalankan). Kedua, kondisi geografis
yang tandus dan berbukit-bukit sehingga membuat Sumba sulit dialiri listrik
dengan cara tradisional menggunakan grid PLN. Sementara sumber-sumber energi
terbarukan seperti potensi matahari, air dan angin berlimpah di pulau kecil
ini. Proyek ini dimulai pada tahun 2010, hingga sekarang SII sudah berhasil
menggandakan rasio elektrifikasi pulau Sumba menjadi sekitar 42%.
Menurut studi kasus proyek
pencontohan Sumba Iconic Island, dapat disimpulkan bahwa pembangunan off-grid melalui pemanfaatan
sumber-sumber energi terbarukan yang tersedia secara lokal di daerah-daerah
yang tidak terjangkau grid PLN adalah jauh lebih murah daripada harus membangun
grid atau mendatangkan energi fossil dari kota/pulau terdekat (Hivos, 2010;
ADB, 2015).
Proyek off-grid seperti SII
bisa berjalan dengan baik karena ada pelibatan semua pihak yang berkepentingan.
Proyek ini bisa sukses jika semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, LSM
dan swasta ikut berperan. Jika masyarakat dilibatkan dan dilatih untuk
mengelola, mereka akan memiliki rasa memiliki yang tinggi, dengan demikian
mereka bisa mengelola dan menjaganya dengan baik. Untuk itu, alangkah baiknya
apabila pemerintah dapat memperbanyak pembangunan akses listrik melalui
pemanfaatan energi terbarukan menggunakan sistem distribusi off-grid. Selain
biayanya lebih murah untuk daerah terpencil, sistem off grid dapat menjangkau daerah-daerah
terpencil yang sulit dijangkau pembangkit energi fosil.